Suka Duka Anak Rantau

Tulisan ini pernah saya muat di blog saya yang jadul pada 28 Maret 2008.

Tak banyak orang yang suka dan mau hidup di negeri perantauan, baik itu untuk menuntut ilmu maupun untuk bekerja. Perasaan berat ketika meninggalkan tanah kelahiran, jauh dari keluarga, saudara, teman-teman, pacar, binatang piaraan maupun ketakutan menghadapi hidup kesendirian sering menggelayut dipikiran. Wajar sih dan untuk mengambil keputusan merantau dibutuhkan keberanian dan tekad, tidak sekedar asal ikut tanpa sama sekali siap menghadapi konsekuensi di tanah rantau.

Seperti juga saya, merantau bukan sebuah pilihan, tapi sebuah keputusan. Ketika kenyataan hidup memaksa untuk mencari lahan mencari rezeki yang yang lebih baik, inilah keputusan saya. Memang sih rejeki, jodoh dan mati itu sudah diatur yang diatas tapi kalo kita tidak berusaha ya Tuhan tidak akan memberi jalan. Terkadang sudah berusaha mati-matian saja tidak didapatkan juga, apalagi yang statis, duduk manis, pringas pringis. Haiah….

Apalagi saya yang terlahir sebagai orang kampung, hidup susah sudah menjadi menu sehari-hari [walah nelongso men dab]. Masih inget sekitar tahun 2003 saya pindah merantau dari kota gudeg menuju kota lumpia. Membawa tas besar naik bis ekonomi dari terminal umbulharjo [sekarang sudah almarhum] dengan rasa seneng campur sedih. Hikz. Seneng karena lamaran saya diterima dan saya akan bekerja, sedih karena ya itu tadi, kehilangan dan ketakutan. Tapi untunglah niat kuat bisa menghapusnya.

Pada awal menjalani hidup sendiri memang cukup mengerikan. Tinggal di kosan, belum ada temen, belum tau arah, tidur sendiri, mau makan harus ke warung makan [jujur ya dari dulu sampe sekarang hidup diperantauan saya gak pernah masak. Gak bisa dan gak mau. Hehehe… Kasian warung2 makan gak ada yang beli gara2 saya masak sendiri. Klise!]. Makanpun harus ngirit karena uang saku dari rumah pas-pasan sambil menunggu gajian pertama sebulan lagi yang gak seberapa. Namanya juga baru training lah…..

Dan seiring berjalannya waktu demi waktu, banyak pelajaran berharga sempat nyangkut dalam pikiran. Terus-terang, karena saya bukan orang berpendidikan, maka tempat kerja sekaligus saya jadikan sekolah tempat menuntut ilmu. Experience is the best teacher. Pengalamanlah yang mengjari saya apapun tentang proses menjalani hidup ini dan membuat saya kuat. Banyak pengalaman yang mendidik saya menjadi orang yang lebih baik dan mungkin dirasakan juga oleh para perantau-perantau yang lain.

Mandiri, kesendirian memaksa kita membuang jauh apa itu manja. Apa yang kita mau ya harus kita lakukan sendiri. Jangan berharap pertolongan dari orang lain dulu lah, apalagi jika kita merantau ke ke kota metropolitan dimana rasa egois dan apatisnya sudah overload. Mau gak mau kita dituntut untuk menjadi orang yang mandiri dan itu bukan sebuah kerugian buat kita justru sebaliknya. Dulu saya sering tertunduk dimarahin boss, tapi sekarang saya sedang berusaha menuntun langkah menuju peradaban baru, hidup yang lebih baik.

Tanggungjawab. Jangan bayangkan tinggal dirumah, dimana kita bisa tereak2 disaat kita butuh bantuan orang lain. Di rantau kita mesti berusaha dulu memecahkan masalah kita sendiri. Kita dituntut full tanggungjawab dan bisa bisa menghargai diri kita sendiri. Banyak pengalaman. Inilah yang penting. Karena pengalaman tak kan pernah mati.

Jangan menyerah sebelum bertanding karena hanya rasa malu yang akan kamu bawa pulang