Pada dasarnya saya ndak seperti Briptu Norman yang maniak dengan film dan lagu India, namun ada beberapa film Bollywood atau yang berbau Bollywood yang sudah saya tonton dan saya mengapresiasinya dengan sangat baik. Tentu masih ingat diingatan kita ada film Slumdog Millionaire atau 3 idiots yang cukup menggemparkan dunia. Kemudian yang baru ada Life of Pi yang cukup sukses menembus Hollywood.
Ada film lain yang cukup membuat saya kagum dari sisi sinematografinya, yaitu Zindagi Na Milegi Dobara. Trus ada juga film action-nya Bollywood terbaru, Race 2. Iya memang film-film tersebut tak seperti film India kebanyakan yang kolot dimana tiap adegan harus diselipi dengan nyanyian dan tarian. Terus terang saya tidak tertarik dengan film India yang semacam Kuch Kuch Hota Hai, dimana dipenuhi dengan nyanyian dan tarian. Namun secara umum, film India selalu menyelipkan pesan dalam setiap filmnya. Dan saya pikir lebih baik dari kualitas film Indonesia yang kebanyakan hanya mengekplorasi soal hantu dan menakuti penonton.
Kembali ke judul postingan ini, English Vinglish. Film India yang baru kemaren saya nikmati dan memang benar-benar membuat saya berurai air mata. Haha. Mungkin banyak yang berpikir terlalu lebay, namun begitulah kenyataannya. Secara umum English Vinglish yang dibintangi Sri Devi ini lebih bergenre kocak alias komedi. Namun justru dari sanalah penonton akan dibawa menelusuri setiap scene dengan gaya ceria namun banyak membawa pesan moral di dalamnya. Film yang banyak mengupas tentang kehidupan cinta dalam sebuah keluarga, perjuangan pantang menyerah serta interaksi dengan orang-orang baru.
Dalam English Vinglish, Sri Devi yang berperan sebagai Shashi adalah seorang seorang ibu rumah tangga yang pintar memasak terutama membuat Ladoo, makanan khas India tetapi bisa dibilang ia seorang India kolot yang kemana-mana masih memakai sari. Suaminya, Satish, adalah manajer di perusahaan internasional yang tentu saja pantai berbahasa Inggris, begitu juga dengan anak mereka, Sapna dan Sagar. Tentang bahasa Inggris inilah yang menjadi konflik dasar dalam film ini. Bahkan Sapna, anaknya, sering mengejek bahkan malu dengan ibunya ketika bertemu dengan teman dan gurunya di sekolah.
Sampai pada suatu hari, ada undangan yang datang dari New York. Kakak Shashi akan menikahkan anaknya, maka Shashi sekeluarga harus datang. Satish menyuruh pergi sendiri ke NY sebulan lebih awal untuk membantu persiapan acara pernikahan. Dari sinilah petualangan di mulai di New York. Shashi yang tidak bisa berbahasa Inggris akan mengalami banyak pengalaman baru yang akan merubah hidupnya. Ketika Shashi memutuskan untuk kursus singkat bahasa Inggris dengan diam-diam, mulailah dia bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai negara yang sama-sama belum bisa berbahasa Inggris. Ada kelucuan, konflik batin bahkan cerita cinta akan berbaur menjadi satu dan bisa di visualisasikan dengan gaya ceria.
Bagian mana yang membuat saya menangis? Haha pertanyaan bagus. Mungkin karena saya menonton film ini di tengah malam buta yang sepi sehingga dengan mudah terbawa suasana. Pada scene terakhir ketika pesta pernikahan dan Shashi berpidato menasehati pengantin dalam bahasa Inggris benar-benar menyentuh otak dan memaksa air mata keluar. Pidato Shashi bahasa Inggris yang terbata-bata membuat semua orang terperangah terutama anak dan suaminya yang selama ini meremehkannya. Bahkan isi pidatonya sendiri yang cukup menyentuh sisi feminisme dalam diri saya. 😀 Halah…
Silakan tak perlu malu menonton film India karena banyak kok film yang bagus baik dari sisi cerita, pesan moral bahkan sinematografinya. Lebih baik daripada menonton film tentang pocong dan kuntilanak yang hanya mengandalkan hantu dan aurat. Ufff….
Trailer
[divider type=”image”]