Cara Praktis Menulis Ejaan Bahasa Jawa Yang Benar

ejaan bahasa jawa

Menulis ejaan bahasa Jawa dalam huruf latin memang gampang-gampang susah. Ada yang peduli dan paham berkat pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Ada yang memang tidak paham sama sekali. Ada yang ‘bodo amat’. Terkadang hati ini ikut sakit walau tak berdarah ketika di Twitter ada yang menulis ‘atiku loro‘ sebagai terjemahan dari ‘hatiku sakit‘.

Memang semua akan dilihat kembali sesuai konteks. Namun demikian, kenyataannya ada kata dalam bahasa Jawa yang lebih berhak menggunakan kata ‘loro’, yaitu loro sebagai terjemahan dari dua.

Baiklah, prolognya tidak perlu panjang lebar. Niat saya menulis artikel ini memang berhubungan dengan kondisi tersebut diatas. Masih sangat banyak yang masih salah menulis ejaan bahasa Jawa. Entah itu yang native pengguna bahasa Jawa, apalagi yang sekedar tahu. Memang, di internet sudah banyak sekali artikel yang membahas masalah ini, dan disini saya ingin sedikit menambahkan mengenai pola penulisan ejaan bahasa Jawa agar lebih mudah dipahami secara praktis.

Saya bukan seorang ahli bahasa, linguistik ataupun fonologi. Tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman sebagai penutur bahasa Jawa dari lahir, dan tentu saja hasil baca dari beberapa literatur. Oleh karena itu jika nanti terdapat kesalahan, jangan ragu untuk mengoreksi.

Penulisan Bunyi Vokal Bahasa Jawa

Huruf vokal hanya berjumlah lima yaitu a, i, u ,e, o. Namun huruf ini nantinya akan mewakili beberapa bunyi dalam kaitannya dengan penulisan ejaan huruf latin.

ejaan bahasa jawa

Tabel diatas hanya menerangkan secara singkat fonem vokal yang ditulis dalam ejaan huruf latin. Selengkapnya saya jabarkan dalam penjelasan mengenai pola penulisan agar lebih mudah dipahami. Itu harapan saya. Semoga.

Pola Penulisan Ejaan Bahasa Jawa Berdasarkan Bunyi Vokal

Penggunaan huruf /a/

Gunakanlah huruf /a/ digunakan pada saat kondisi bunyi vokal sebagai berikut:


Saat bunyi /a/ terdengar seperti pengucapan dalam kata papat ’empat’.

Contoh:

  • alus ‘halus’
  • sekar ‘bunga’
  • ora ‘tidak’
  • laler ‘lalat’
  • lepat ‘salah’

Saat bunyi terdengar seperti dalam pengucapan [dɔwɔ] → dawa ‘panjang’ maka suara [ɔ] tetap ditulis menggunakan huruf ‘a’ bukan ‘o’, jika tidak diakhiri dengan huruf konsonan di akhir kata.

Contoh:

  • amba ‘lebar’
  • rama ‘ayah’
  • menungsa ‘manusia’
  • bala ‘pasukan’
  • apa ‘apa’
  • lunga ‘pergi’

Penjelasan:
– konsonan diakhir kata → pasukan = bala [bɔlɔ]
+ konsonan diakhir kata → lubang = bolong [bɔlɔng]

Bunyi vokal /a/ dan /o/ diucapkan sama meskipun penulisan berbeda. Vokal pada kata ‘bolong’ menggunakan huruf /o/ meskipun pengucapannya sama dengan kata ‘bala’ karena ada konsonan /ng/ diakhir kata.


Penggunaan Huruf /i/

Gunakanlah huruf /i/ pada saat kondisi bunyi vokal sebagai berikut:


Saat bunyi /i/ terdengar seperti pengucapan ‘i’ dalam kata lindhu ‘gempa’.

Contoh:

  • ilang ‘hilang’
  • laris ‘sangat laku’
  • pari ‘padi’
  • silem ‘menyelam’
  • simbok ‘ibu’
  • bali ‘pulang’

Saat bunyi terdengar seperti bunyi /e/ dalam pengucapan kata edan ’gila’ maka suara /e/ ditulis menggunakan huruf ‘i’ apabila diikuti/diakhiri dengan konsonan di akhir kata.

Contoh:

  • kuping dibaca ‘kupeng’ (telinga)
  • mulih dibaca ‘muleh’ (pulang)
  • ringkih dibaca ‘ringkeh’ (lemah)
  • wis dibaca ‘wes’ (sudah)

Penjelasan:
+ konsonan diakhir kata → mulih ‘pulang’
– konsonan diakhir kata → gule ‘gulai’

Bunyi vokal /i/ dan /e/ diucapkan sama meskipun penulisan berbeda. Suara /e/ pada ‘mulih’ tetap menggunakan /i/ karena ada /h/ setelahnya.

Penggunaan Huruf /u/

Gunakanlah huruf /u/ pada saat kondisi bunyi vokal sebagai berikut:


Saat bunyi /u/ terdengar seperti pengucapan bunyi /u/ dalam kata metu ‘keluar’.

Contoh:

  • wolu ‘delapan’
  • pundi ‘mana’
  • mlaku ‘jalan’
  • umyek ‘ribut sendiri’
  • lemu ‘gemuk’

Saat bunyi terdengar seperti bunyi /o/ dalam pengucapan bakso maka suara /o/ tetap ditulis menggunakan huruf ‘u’ apabila diikuti/diakhiri dengan konsonan di akhir kata.

Contoh:

  • mundur dibaca ‘mundor’ (mundur)
  • balung dibaca ‘balong’ (tulang)
  • thiwul dibaca ‘thiwol’ (tiwul)
  • janggut dibaca ‘janggot’ (dagu)

Penjelasan:
+ konsonan diakhir kata → durung dibaca durong ‘belum’
– konsonan diakhir kata → kebo ‘kerbau’

Bunyi vokal /u/ dan /o/ diucapkan sama meskipun penulisan berbeda. Suara /o/ pada ‘durung’ tetap menggunakan /u/ karena ada /ng/ di akhir kata.

Penggunaan Huruf /e/

Huruf /e/ menghasilkan tiga suara berbeda untuk membedakan makna yang berbeda pula.

Contoh:

  • [edan] → edan ‘gila’
  • [bənər] → bener ‘benar’
  • [lɛrɛn] → leren ‘berhenti’

Penulisan ketiganya tetap menggunakan huruf /e/. Cara membedakan suara pengucapannya dengan melihat konteks kalimat atau dengan menggunakan diakritik yang berbeda.

Diakritik yang biasa digunakan untuk membedakan suara:
ê/e = untuk menulis suara ‘e’ pada ‘metu’ (keluar).
é = untuk menulis suara ‘e’ pada ‘gulé’ (gulai).
è = untuk menulis suara ‘e’ pada ‘kabèh’ (semua).

Penggunaan Huruf /o/

Gunakanlah huruf /o/ pada saat kondisi bunyi vokal sebagai berikut:


Huruf /o/ digunakan untuk menghasilkan suara [o] seperti dalam pengucapan /o/ pada kata loro ‘dua’.

Contoh:

  • Kanggo ‘untuk’
  • Ora ‘tidak’
  • Kendho ‘longgar’
  • Tangga teparo ‘tetangga sekitar’

Huruf /o/ digunakan untuk menghasilkan suara [ɔ] seperti dalam pengucapan [lɔrɔ] → lara ‘sakit’ apabila huruf /o/ diikuti/diakhiri dengan konsonan.

Contoh:

  • [cɔlɔng] → colong ‘curi’
  • [andhɔng] → andhong ‘andong’
  • [nyeblɔk] → nyeblok ‘jatuh’
  • [gɔbyɔs] → gobyos ‘kemringet’

Penulisan Bunyi Retrofleks

Retrofleks yaitu bunyi yang dibentuk dengan ujung lidah melengkung ke belakang. Bunyi [ɖ] dan [ʈ] ditulis dengan ‘dh’ dan ‘th’. Contoh: mathuk ‘cocok’; gedhang ‘pisang’.

Contoh penulisan ejaan untuk membedakan bunyi biasa dan retrofleks:

  • watuk ‘batuk’ → /t/ suara normal
  • [baʈuk] → bathuk ‘dahi’ → retrofleks
  • [senʈir] → senthir ‘lampu minyak’ → retrofleks
  • memedi ‘hantu’ → /d/ suara normal
  • [ɖupak] → dhupak ‘tendang’ → retrofleks
  • [baɖe] → badhe ‘akan’ → retrofleks

Nama geografis, badan hukum, nama orang dan nama diri lain, penulisannya disesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, kecuali ada pertimbangan khusus.

Contoh: Dhokter Subandi kelairan Klaten dudu Bandung.


Penulisan Bunyi Semivokal

Huruf yang termasuk dalam semivokal adalah ‘w’ dan ‘y’. Disebut semivokal karena didalamnya terdapat dua vokal berbeda.


A. Semivokal pada kata asal harus dimunculkan dalam penulisan sesuai bunyinya.

Contoh:

  • [tuwɔ] → tuwa ‘tua’
  • [priyɔ] → priya ‘pria’
  • [ɖuwit] → dhuwit ‘uang’

B. Semivokal pada sufiks (imbuhan di akhir kata) tidak perlu dimunculkan dalam penulisan.

Contoh:

  • bali+a → [baliɔ] → balia ‘pulanglah’
  • turu+a → [turuɔ] → turua ‘tidurlah’
  • rabi+a → [rabiɔ] → rabia‘menikahlah’

Aturan diatas berlaku untuk tata penulisan ejaan bahasa Jawa dalam semua tingkatan mulai dari ngoko, krama halus hingga krama inggil. Saya berharap kita bisa belajar mulai dari hal-hal kecil seperti ini agar bahasa Jawa tetap lestari sampai kapanpun.

Demikian beberapa pola penulisan ejaan bahasa Jawa yang saya ringkas dengan maksud agar lebih mudah dipahami dan diterapkan dalam praktek sehari-hari. Jika masih bingung atau ada masukan, silakan tinggalkan di kolom komentar.

Jika ada tambahan data di masa depan, maka artikel ini akan diperbarui lagi.