Seorang pria sebut saja Jono bertemu dengan seorang wanita bernama Safa di sebuah resepsi. Wanita yang luar biasa, cantik dan anggun. Lihat betapa banyak mata pria diruangan itu yang mengawasi gerak geriknya. Sementara Jono hanya biasa saja. Tak ada yang memperhatikannya.
Pada penghujung pesta, Jono memberanikan diri mengundang Safa untuk minum kopi bersamanya. Safa terkejut, tak menyangka. Namun karena kesopanan si Jono, Safa pun mengabulkannya.
Mereka duduk disebuah warung kopi. Jono sangat gugup dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Safa menjadi tidak nyaman. Antarkan aku pulang, batin Safa. Tiba-tiba Jono memanggil pelayan, “Tolong beri saya garam. Saya ingin menambahkan dalam kopi ini.”
Semua orang yang duduk disitu menatap Jono dengan aneh. Wajah Jono berubah merah tetapi tetap saja dia memasukkan garam itu kedalam cangkir dan meminumnya.
Safa penasaran dan bertanya, “Mengapa kamu memiliki kebiasaan aneh seperti ini?”
“Ketika aku masih kecil, aku tinggal dekat laut. Aku selalu bermain dengan air laut. Aku biasa mencicipi rasanya yang asin dan menggigit, seperti rasa kopi asin. Sekarang setiap kali aku meminum kopi asin, aku akan memikirkan masa kecil saya yang indah, memikirkan kampung halaman. Aku rindu teman masa kecilku, rindu orang tuaku yang masih tinggal disana,” jelas Jono dengan lirih dan matanya berkaca-kaca.
Safa sangat tersentuh. Itulah perasaan yang sebenarnya dari lubuk hatinya, batin Safa.
Seorang pria yang mau menceritakan tentang rindu maka ia akan menjadi seorang pria yang mencintai rumahnya, peduli keluarga dan memiliki tanggung jawab, pikir Safa. Dia juga menceritakan tentang kampung halaman, keluarga dan masa kecilnya dan itu adalah pembicaraan yang mengagumkan.
Pertemuan itu menjadi awal yang indah pada kisah mereka selanjutnya. Safa menemukan pria yang baik, toleran, hangat dan romantis.
“Aku hampir kehilangan dia. Terima kasih kopi asin!” teriak Safa.
Kemudian cerita berlanjut. Layaknya cerita dongeng, sang putri menikah dengan pangeran dan mereka hidup dalam kebahagiaan. Sakinah mawadah warahmah. Dan setiap membuatkan kopi untuk suaminya, Safa selalu membubuhkan garam kedalam cangkir, karena ia tahu kesukaan suami tercintanya.
Pada umur 45 tahun, Jono meninggal dunia dan meninggalkan sebuah surat untuk istrinya:
“Sayang, maafkan aku. Aku telah melakukan kebohongan dan ini adalah satu-satunya kebohongan yang aku lakukan padamu. Kopi asin. Ingat saat pertama kali kita bertemu dan mengajakmu minum kopi? Saat itu aku sangat gugup. Sebenarnya aku ingin minta gula tapi aku malah menyebut garam. Aku malu untuk mengubahnya jadi aku meneruskannya. Aku tidak berpikir bahwa itu akan menjadi awal komunikasi kita. Selanjutnya aku berjanji untuk selalu jujur kepadamu tentang apapun. Sekarang aku sekarat, aku takut menyimpan sebuah kebohongan yang aku pendam terlalu lama. Sebenarnya, aku tidak suka kopi asin, rasanya sungguh tidak enak. Tapi aku selalu berusaha menikmati kopi asin seumur hidupku karena aku tahu, aku tidak pernah menyesal atas apapun yang aku lakukan untukmu. Memilikimu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Jika aku dapat hidup kedua kalinya, aku tetap ingin mengenalmu dan memilikimu sebagai istri meskipun harus meminum kopi asin seumur hidupku.”
Air mata safa meleleh tak tertahankan. Suatu hari seseorang bertanya kepadanya: Apa rasa kopi asin?? “Manis…” dia menjawabnya.
*) Cerita ini hanya fiksi belaka. Terjemahan bebas dari yourlifehappiness.com
“I may not get to see you as often as I like. I may not get to hold you in my arms all through the night. But deep in my heart I truly know, you’re the one that I love, and I can’t let you go.”