Jono dan Weni. Mereka telah berumahtangga selama dua tahun. Jono seorang desainer grafis dan hobi fotografi. Jono sangat mencintai istrinya. Demikian juga Weni. Namun Weni memiliki sifat temperamental yang tinggi dan mudah terbawa emosi. Jono seorang suami yang baik dan selalu memenuhi kemauan istrinya ketika ia bisa melakukannya.
Hari ini Weni mengeluarkan jurus emosinya lagi.
“Mengapa kamu tidak bisa menjadi fotografer untuk pernikahan temanku? Dia berjanji akan membayar,” suara Weni menggelegar dibelakang Jono yang sedang konsentrasi didepan layar monitor.
“Saya tidak punya waktu hari itu,” Jono menggeser kursinya dan menatap istrinya.
“Huh!!” muka Weni memerah.
“Hah?”
“Cobalah menghentikan pekerjaanmu sebentar dan kamu akan punya waktu untuk melakukan keinginanku,” Weni melengos.
“Hari itu aku ada janji dengan klien dan punya beberapa deadline untuk diselesaikan.”
“Aku tidak peduli. Kamu harus melakukannya untukku!!” Weni menatap Jono dengan wajah gusar.
“Maaf Sayang, tapi aku benar-benar tidak bisa…” kata Jono sambil tersenyum dan memegang tangan istrinya.
Negoisasi berjalan alot. Weni memberi peringatan terakhir, “Beri aku jawaban ‘ya’ dalam tiga hari ini!”
Hari pertama, Weni tidak memasak, tidak membuatkan kopi seperti biasanya, mengunci dapur dan kamar mandi. Kecuali tempat tidur, Weni masih memberikan tempat disampingnya. Namun Jono tak begitu khawatir karena dia masih menyimpan uang tunai untuk membeli makanan diluar.
Hari kedua, Weni merazia saku dan dompet Jono, sambil memperingatkan, “Ini akibatnya jika menolak permintaan istrimu.”
Hari ketiga, malam. Mereka berdua tidur seranjang namun saling menghadap berlawanan arah.
“Kita harus bicara Sayang,” kata Jono memulai pembicaraan.
“Kecuali tentang pernikahan kita, lupakan saja!” sergah Weni.
“Ini sesuatu yang penting.”
Weni tetap diam.
“Sebaiknya kita bercerai,” sambung Jono.
Weni tak percaya apa yang didengarnya.
“Aku mengenal seorang gadis,” kata Jono.
Weni benar-benar marah. Dia ingin memukul suaminya. Tapi ia berusaha menahan diri untuk membiarkan Jono menyelesaikan perkataannya. Sementara air mata Weni sudah terlanjur membahasi pipinya. Sedetik kemudian Jono mengambil sebuah foto dari saku celananya.
“Dia gadis yang baik,” lanjut Jono.
Air mata Weni kembali jatuh.
“Dia juga memiliki kepribadian yang baik,” kata Jono sambil memandang foto ditangannya.
Weni sedih melihat suaminya ternyata menyimpan foto wanita lain selain dirinya.
“Dia mengatakan akan bersedia mendukung saya sepenuhnya dengan apa yang aku kerjakan setelah kami menikah.”
Weni semakin cemburu karena dia pun mengatakan hal yang sama saat akan menikah dengan Jono.
“Dia sangat mencintaiku,” Jono memandang foto ditangannya dalam-dalam.
Weni ingin sekali duduk dan berteriak kepada suaminya, “Itu aku!”
“Jadi aku pikir dia tidak akan memaksaku melakukan sesuatu yang tak bisa aku lakukan. Maukah kau melihat fotonya?” lanjut Jono sembari membawa foto ditangannya kearah Weni. Namun baru sempat menyentuh tangannya, Weni menepis dan menampar wajah suaminya.
Jono mendesah. Weni menangis.
Jono memasukkan kembali foto itu ke sakunya. Mematikan lampu. Dan tak berapa lama kemudian tertidur dengan lelap.
Tengah malam Weni menyalakan lampu dan duduk dipinggir ranjang. Dia tak bisa tidur. Dia menyesal telah berlaku kasar kepada suami yang dicintainya.
Weni menangis lagi. Dia ingin membangunkan suaminya, meminta maaf dan bercerita banyak hal seperti biasa. Dia tahu telah melakukan kesalahan yang fatal. Dia tak ingin memaksakan kehendaknya lagi.
Rasa penasaran Weni tentang seorang wanita yang diceritakan Jono membuatnya beringsut mendekati suaminya. Perlahan ia menarik foto dari saku celana Jono.
Twiiink!! Weni ingin menangis dan tertawa. Itu adalah sebuah foto dirinya yang pernah diambil oleh Jono diwaktu yang lalu. Weni membungkuk dan mencium pipi suaminya.
Jono tersenyum dalam hati. Dia hanya pura-pura tertidur.
“Anda belajar mengasihi, bukan dengan mencari orang yang sempurna, tetapi dengan belajar memperlakukan orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna.”